
Kota Dan Manusia: Ruang Publik Yang Kian Menyempit
Kota Dan Manusia: Ruang Publik Yang Kian Menyempit

Kota Dan Manusia, perkembangan kota-kota besar di Indonesia — dan di seluruh dunia — kerap diukur melalui seberapa cepat gedung pencakar langit dibangun, berapa banyak apartemen berdiri, dan bagaimana infrastruktur jalan diperluas. Namun dalam euforia pembangunan fisik, sering kali yang terpinggirkan justru adalah aspek sosial dan ruang publik. Kota menjadi padat, sibuk, dan penuh, tetapi tidak selalu manusiawi.
Ruang publik seperti taman kota, trotoar yang nyaman, lapangan bermain, dan ruang terbuka hijau kini tergeser oleh kompleks perumahan mewah, pusat perbelanjaan, dan proyek komersial lainnya. Prioritas kota cenderung lebih mengakomodasi mobil dan kendaraan pribadi dibandingkan kebutuhan warga untuk berjalan kaki, berinteraksi, atau sekadar bernafas di tengah alam terbuka. Hasilnya, kota tumbuh, tetapi manusia di dalamnya merasa semakin asing satu sama lain.
Padahal, ruang publik bukan sekadar tempat fisik, melainkan ruang sosial tempat warga saling berjumpa, berbagi ide, dan membangun rasa kebersamaan. Di sanalah demokrasi kota bersemi — dari aktivitas seni jalanan hingga diskusi komunitas. Ketika ruang publik menyempit, bukan hanya tubuh yang kehilangan tempat untuk bergerak, tetapi juga jiwa yang kehilangan ruang untuk tumbuh.
Kota semestinya adalah tempat hidup bersama, bukan hanya mesin ekonomi. Ketika kita bicara tentang “kota layak huni”, kita tidak hanya bicara tentang transportasi cepat atau bangunan tinggi, tetapi juga tentang rasa aman, ruang bermain anak-anak, tempat orang tua duduk bersantai, dan trotoar luas tempat semua orang bisa berjalan. Inilah nafas sosial yang membuat kota terasa hidup.
Kota Dan Manusia, pembangunan kota seharusnya tidak semata soal kecepatan dan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga tentang keberlanjutan dan inklusivitas. Masyarakat berhak memiliki ruang bersama yang aman, bersih, dan dapat diakses semua lapisan, bukan hanya kelompok tertentu. Kota yang sehat adalah kota yang memberi ruang untuk semua — tua dan muda, kaya dan miskin, manusia dan alam.
Dari Lapangan Ke Lahan Parkir: Komersialisasi Yang Menggerus Kota Dan Manusia
Dari Lapangan Ke Lahan Parkir: Komersialisasi Yang Menggerus Kota Dan Manusia, fenomena hilangnya ruang publik di kota-kota sering kali berkaitan erat dengan proses komersialisasi ruang. Lapangan yang dulunya digunakan anak-anak bermain kini menjadi lahan parkir atau dibangun menjadi pusat bisnis. Trotoar yang seharusnya menjadi hak pejalan kaki diambil alih oleh pedagang besar atau bahkan pagar properti. Dalam logika kota modern, ruang diukur dengan nilai jual, bukan nilai sosial.
Komersialisasi ini bukan hanya mengubah fungsi ruang, tapi juga membatasi akses warga. Taman yang dulu terbuka kini berpagar dan hanya bisa diakses dengan tiket. Ruang berkumpul digantikan oleh kafe mahal yang tak semua orang mampu bayar. Bahkan kegiatan sederhana seperti duduk di bangku umum kini bisa menjadi tindakan yang dibatasi — dianggap “mengganggu ketertiban” jika tidak bertransaksi.
Ironisnya, dalam banyak kasus, ruang-ruang yang diswastanisasi ini dibangun di atas lahan yang awalnya adalah ruang publik atau milik negara. Prosesnya sering kali minim partisipasi masyarakat, tanpa transparansi, dan tanpa kajian dampak sosial yang memadai. Ini menunjukkan bahwa kebijakan tata kota masih lebih berpihak pada investasi daripada kepentingan publik.
Padahal, ruang publik adalah alat pemerataan sosial. Ia menyatukan orang dari berbagai latar belakang dalam ruang yang setara. Ketika ruang publik digantikan oleh ruang konsumsi, maka interaksi yang terjadi pun menjadi transaksional — bukan hubungan sosial yang tulus. Kota pun kehilangan fungsinya sebagai tempat hidup bersama, dan berubah menjadi sekadar pasar yang besar.
Melawan tren komersialisasi ini bukan berarti menolak pembangunan, melainkan menuntut pembangunan yang adil dan berpihak pada manusia. Ruang publik harus dikembalikan sebagai hak warga, bukan semata peluang ekonomi bagi segelintir pihak.
Siapa Yang Berhak Atas Kota?
Siapa Yang Berhak Atas Kota?, pertanyaan tentang ruang publik sejatinya adalah pertanyaan tentang hak warga atas kota. Kota bukan hanya milik pengembang, investor, atau birokrat. Kota adalah tempat hidup bersama, tempat warga membentuk komunitas, budaya, dan identitas. Sayangnya, dalam banyak proses perencanaan kota, suara warga biasa sering kali tak terdengar, atau bahkan sengaja diabaikan.
Konsep “hak atas kota” (right to the city) yang dicetuskan oleh Henri Lefebvre menyatakan bahwa semua warga — tanpa terkecuali — berhak mengakses, menggunakan, dan mempengaruhi ruang kota. Namun realitas hari ini menunjukkan kesenjangan yang tajam. Kelompok-kelompok marjinal seperti masyarakat miskin kota, disabilitas, dan komunitas informal sering kali tidak punya kuasa untuk menentukan wajah kota yang mereka tinggali.
Pemindahan paksa warga dari kawasan kumuh, penggusuran atas nama penataan kota, atau pengabaian terhadap kebutuhan ruang komunitas adalah bentuk pelanggaran atas hak ini. Kota dibentuk atas nama modernisasi, tetapi yang dikorbankan justru manusia yang hidup di dalamnya.
Perencanaan kota seharusnya bersifat partisipatif, bukan top-down. Warga harus diberi ruang untuk terlibat dalam proses perumusan kebijakan tata ruang, pengelolaan ruang terbuka, hingga penggunaan anggaran kota. Keterlibatan ini bukan sekadar konsultasi simbolis, tetapi partisipasi aktif dan bermakna.
Kota yang demokratis adalah kota yang membuka ruang bagi semua suara, termasuk yang paling lemah. Di situlah ruang publik menjadi simbol keberpihakan: bukan sekadar ruang kosong, tapi ruang yang dirancang, dijaga, dan digunakan bersama oleh semua lapisan masyarakat.
Menghidupkan Kembali Ruang Bersama
Menghidupkan Kembali Ruang Bersama, meskipun tantangan menyempitnya ruang publik begitu nyata, bukan berarti kita harus menyerah pada dominasi beton dan aspal. Banyak komunitas, aktivis urban, dan warga kota yang mulai bergerak untuk merebut kembali ruang bersama. Mereka membangun taman komunitas, membuka perpustakaan jalanan, menggelar pasar seni di jalan, atau menciptakan ruang diskusi di trotoar yang dulu terlantar.
Gerakan ini menunjukkan bahwa ruang publik tidak harus selalu megah atau dibangun oleh pemerintah. Ia bisa lahir dari inisiatif warga, dari solidaritas, dan dari keinginan untuk menciptakan ruang yang lebih manusiawi. Bahkan sekadar membersihkan taman kosong dan mengubahnya menjadi ruang baca bisa menjadi tindakan politik yang kuat — menantang struktur kota yang terlalu komersial dan eksklusif.
Tentu saja, dukungan kebijakan tetap penting. Pemerintah kota harus mulai mengubah pendekatan dari yang pro-investor menjadi pro-warga. Pembangunan harus disertai dengan evaluasi dampak sosial, dan ruang publik harus menjadi indikator utama keberhasilan kota, bukan hanya pertumbuhan ekonomi.
Desain kota pun perlu menempatkan manusia sebagai pusat, bukan kendaraan atau kapital. Ruang-ruang kecil seperti jalur sepeda, taman saku, ruang bermain anak, hingga ruang istirahat untuk pekerja informal, harus diprioritaskan. Inilah bentuk perencanaan yang berpihak pada kualitas hidup, bukan sekadar kuantitas pembangunan.
Menghidupkan kembali ruang publik bukan hanya soal ruang fisik, tapi juga soal membangun kembali kepercayaan sosial dan solidaritas antarmanusia. Karena pada akhirnya, kota yang baik bukan yang paling megah, tapi yang paling peduli pada manusianya.