Konferensi COP31 Dubai: Negara Berkembang Tuntut Kompensasi
Konferensi COP31 Dubai: Negara Berkembang Tuntut Kompensasi

Konferensi COP31 Dubai, pada tahun 2025 menjadi ajang penting bagi negara-negara di dunia untuk membahas langkah-langkah konkret dalam menangani perubahan iklim. Dengan tema “Solusi Global untuk Masa Depan Berkelanjutan,” pertemuan ini menghadirkan delegasi dari 196 negara, termasuk negara berkembang yang semakin vokal dalam menuntut keadilan iklim.
Negara berkembang menyoroti bahwa mereka menanggung dampak terbesar dari perubahan iklim meskipun kontribusi emisi gas rumah kaca mereka relatif kecil. Banjir, kekeringan, dan cuaca ekstrem telah menghancurkan ekonomi lokal dan mengancam kehidupan jutaan orang. Dalam forum ini, negara-negara tersebut meminta dukungan finansial dan teknis dari negara maju untuk membantu mereka mengatasi tantangan ini.
Dr. Amelia Park, seorang ahli perubahan iklim dari Universitas Sydney, menjelaskan, “Negara-negara berkembang berada di garis depan dampak perubahan iklim. Tanpa dukungan global yang memadai, upaya mereka untuk beradaptasi akan jauh lebih sulit. Kompensasi bukan hanya masalah keadilan, tetapi juga strategi untuk mencegah bencana yang lebih besar.”
Konferensi COP31 Dubai, sebagai tuan rumah, tidak hanya menyediakan fasilitas canggih untuk konferensi tetapi juga berusaha menunjukkan perannya sebagai pusat solusi hijau di kawasan Timur Tengah. Langkah ini sejalan dengan ambisi emirat tersebut untuk menjadi pemimpin global dalam inisiatif berkelanjutan. Infrastruktur Dubai yang ramah lingkungan, seperti bangunan berbasis energi terbarukan, menjadi contoh nyata dalam mendukung tema besar COP31. Meski demikian, skeptisisme terhadap komitmen nyata negara-negara kaya tetap menjadi isu besar yang menghiasi pertemuan ini. Banyak yang mempertanyakan apakah janji-janji yang dibuat dalam konferensi sebelumnya akan diikuti dengan aksi nyata atau hanya sekadar retorika.
Tuntutan Kompensasi Dari Negara Berkembang
Tuntutan Kompensasi Dari Negara Berkembang. Isu utama yang diangkat negara berkembang dalam COP31 adalah permintaan kompensasi atas kerusakan yang disebabkan oleh perubahan iklim. Mereka menuntut dana yang dijanjikan melalui mekanisme Loss and Damage, yang pertama kali diresmikan dalam COP sebelumnya. Mekanisme ini dirancang untuk membantu negara-negara yang rentan menghadapi kerugian akibat bencana terkait iklim.
Negara-negara seperti Bangladesh, Maladewa, dan beberapa negara Afrika berpendapat bahwa mereka tidak memiliki sumber daya untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim yang semakin parah. Mereka juga menyoroti ketidakadilan historis, di mana negara maju telah menikmati manfaat dari industrialisasi selama ratusan tahun, sementara negara berkembang harus menanggung akibatnya.
Dalam COP31, negara berkembang tidak hanya menginginkan kompensasi tetapi juga akses yang lebih mudah terhadap teknologi hijau. Teknologi ini mencakup infrastruktur energi terbarukan, sistem pertanian yang tahan terhadap perubahan iklim, dan teknik mitigasi bencana. Tanpa dukungan teknis, negara-negara berkembang merasa tidak memiliki alat yang cukup untuk mengurangi dampak perubahan iklim.
“Kompensasi ini bukan soal pemberian, tetapi tanggung jawab moral,” kata Prof. Lee Hyun-Jin dari Seoul Climate Institute. “Negara-negara maju memiliki utang ekologi terhadap negara berkembang, dan memenuhi janji pendanaan adalah langkah pertama untuk menebusnya.”
Namun, negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa masih bersikap hati-hati dalam komitmen pendanaan. Mereka sering kali mengaitkan bantuan dengan reformasi kebijakan domestik negara penerima, yang dianggap oleh beberapa pihak sebagai bentuk kontrol politik. Ketegangan ini menjadi hambatan utama dalam tercapainya konsensus yang lebih luas selama pertemuan.
Perwakilan dari Afrika Selatan, Dlamini Nkosi, menambahkan, “Afrika tidak membutuhkan belas kasihan, tetapi mitra sejati dalam menghadapi perubahan iklim. Komitmen dari negara maju harus disertai dengan tindakan nyata, bukan sekadar janji kosong.”
Konferensi COP31 Dubai Peran Negara Maju Dalam Kompensasi Iklim
Konferensi COP31 Dubai Peran Negara Maju Dalam Kompensasi Iklim. Negara maju berada di bawah tekanan untuk memenuhi komitmen mereka terhadap dana iklim global. Dalam COP31, fokus utama adalah bagaimana negara-negara kaya dapat meningkatkan kontribusi mereka ke dalam Green Climate Fund (GCF) dan Loss and Damage Fund. Janji pendanaan sebesar $100 miliar per tahun, yang seharusnya mulai terpenuhi sejak 2020, hingga kini belum sepenuhnya direalisasikan.
Negara-negara maju beralasan bahwa ketidakpastian ekonomi global, termasuk inflasi dan konflik geopolitik, menghambat kemampuan mereka untuk meningkatkan pendanaan. Namun, negara berkembang menolak alasan ini, menekankan bahwa perubahan iklim adalah krisis eksistensial yang memerlukan prioritas lebih tinggi dibandingkan isu lain.
“Setiap keterlambatan dalam pendanaan memperburuk kondisi negara-negara yang paling rentan. Ini adalah masalah waktu yang tidak dapat ditunda,” ujar Dr. Clara Heinrich, peneliti senior di Climate Action Network. “Negara-negara maju harus menunjukkan kepemimpinan nyata, bukan hanya berbicara tanpa tindakan.”
Beberapa negara maju menunjukkan langkah progresif. Jerman, misalnya, mengumumkan komitmen tambahan sebesar $10 miliar untuk pendanaan iklim selama lima tahun ke depan. Kanada juga menjanjikan peningkatan kontribusi untuk membantu negara-negara yang paling rentan. Namun, tantangan birokrasi dan kurangnya transparansi sering kali menghambat distribusi dana tersebut ke negara-negara yang benar-benar membutuhkan.
Selain itu, terdapat perdebatan tentang mekanisme pendanaan yang lebih adil. Negara-negara berkembang mengusulkan pembentukan pajak karbon internasional yang akan dikenakan pada perusahaan multinasional yang beroperasi di sektor energi fosil. Pajak ini diharapkan dapat menjadi sumber pendanaan alternatif untuk mendukung inisiatif iklim global. Di sisi lain, beberapa negara maju mendukung gagasan ini, tetapi meminta pengaturan hukum internasional yang lebih rinci untuk menghindari penyalahgunaan.
Harapan Dan Tantangan Pasca COP31
Harapan Dan Tantangan Pasca COP31. Hasil dari COP31 akan menjadi indikator penting bagi masa depan kerja sama global dalam menangani perubahan iklim. Negara-negara berkembang berharap adanya kesepakatan konkret yang menjamin pendanaan iklim yang lebih adil dan merata. Namun, tantangan dalam menyatukan kepentingan berbagai pihak tetap besar.
Salah satu poin utama yang diusulkan adalah pembentukan mekanisme pemantauan independen untuk memastikan komitmen pendanaan dipenuhi. Selain itu, negara berkembang juga mendesak adanya penyederhanaan prosedur pencairan dana agar bantuan dapat segera digunakan untuk mengatasi krisis yang mendesak.
Namun, skeptisisme tetap ada. Banyak pihak khawatir bahwa COP31 hanya akan menghasilkan janji-janji tanpa tindak lanjut yang nyata, seperti yang sering terjadi dalam konferensi sebelumnya. Dengan semakin mendesaknya krisis iklim, keberhasilan atau kegagalan COP31 akan memiliki dampak jangka panjang terhadap upaya global untuk mencapai target nol emisi bersih pada pertengahan abad ini.
Dalam konteks regional, COP31 juga memberikan peluang bagi kawasan seperti Asia Tenggara untuk memperkuat posisi mereka dalam negosiasi iklim global. Dengan membentuk aliansi yang lebih kuat, negara-negara di kawasan ini dapat meningkatkan daya tawar mereka dalam mendapatkan dukungan finansial dan teknis dari negara maju. Selain itu, mereka juga dapat mempercepat adopsi teknologi hijau yang akan memberikan manfaat langsung bagi pembangunan berkelanjutan.
Pasca COP31, komunitas internasional diharapkan dapat lebih fokus pada implementasi kebijakan iklim yang disepakati. Transparansi, pengawasan, dan komitmen nyata akan menjadi kunci untuk memastikan bahwa dunia bergerak bersama menuju masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan. Meskipun tantangan besar masih membayangi, keberhasilan konferensi ini dapat menjadi momentum penting dalam perjalanan panjang melawan perubahan iklim pada Konferensi COP31 Dubai,.