Burkina Faso Hapus Kebijakan Sipil Dan Kembali Hukuman Mati
Burkina Faso Hapus Kebijakan Sipil Dan Kembali Hukuman Mati

Burkina Faso Hapus Kebijakan Sipil Dan Kembali Hukuman Mati

Burkina Faso Hapus Kebijakan Sipil Dan Kembali Hukuman Mati

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
Burkina Faso Hapus Kebijakan Sipil Dan Kembali Hukuman Mati
Burkina Faso Hapus Kebijakan Sipil Dan Kembali Hukuman Mati

Burkina Faso Kini Menghadapi Titik Balik Signifikan Dalam Sistem Peradilan Pidana Nasional Yang Baru Ditetapkan. Penguasa militer negara tersebut mengumumkan kebijakan kontroversial untuk kembali memberlakukan hukuman mati. Kebijakan ini merupakan pembalikan total dari keputusan yang diambil pemerintahan sipil sebelumnya. Keputusan penghapusan hukuman mati sebelumnya sudah berlaku sejak tahun 2018.

Dewan Menteri telah menyetujui rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang mencakup ketentuan tersebut. Rancangan ini harus disahkan oleh badan legislatif transisi yang dibentuk oleh junta militer pimpinan Kapten Ibrahim Traore. Oleh karena itu, meskipun sudah disetujui di tingkat eksekutif, rancangan ini masih membutuhkan persetujuan legislatif untuk sah menjadi undang-undang. Proses ini menjadi sorotan dunia internasional.

Keputusan untuk menghidupkan kembali hukuman mati ini didorong oleh serangkaian pelanggaran berat yang mengancam stabilitas nasional. Pelanggaran yang dimaksud meliputi pengkhianatan tingkat tinggi, terorisme, dan spionase. Selain itu, layanan pemerintah Burkinabe mengonfirmasi bahwa KUHP baru akan menjatuhkan hukuman bagi yang mempromosikan dan mempraktikkan homoseksualitas. Perubahan fundamental dalam sistem hukum ini menunjukkan arah politik yang semakin konservatif dan tegas dari rezim militer Burkina Faso.

Pembalikan Sejarah Setelah Tiga Dekade

Keputusan junta militer ini secara resmi membatalkan kebijakan yang telah berlaku selama bertahun-tahun di negara Afrika Barat tersebut. Pembalikan Sejarah Setelah Tiga Dekade menunjukkan pergeseran ideologi mendasar. Menurut data Amnesty International, eksekusi mati terakhir kali dilakukan di negara itu pada tahun 1988. Artinya, negara ini telah mempraktikkan moratorium eksekusi selama tiga puluh tahun sebelum hukumannya dihapus secara resmi pada 2018.

Penghapusan hukuman mati pada tahun 2018 dilakukan di bawah kepemimpinan pemerintahan sipil Presiden Roch Marc Christian Kabore. Kebijakan itu diterima sebagai langkah maju dalam menjunjung tinggi hak asasi manusia dan mengikuti tren global. Namun demikian, masa pemerintahan sipil itu berakhir setelah kudeta militer pada tahun 2022. Sejak saat itu, Kapten Ibrahim Traore memimpin negara tersebut dengan kebijakan baru yang lebih independen.

Pemerintahan Traore telah menerapkan kebijakan yang secara tegas menentang pengaruh Barat dan menjauhkan diri dari Prancis, yang merupakan mantan penjajah mereka. Sebagai gantinya, mereka memperkuat hubungan dengan negara-negara seperti Rusia dan Iran. Perubahan kebijakan luar negeri ini sejalan dengan reformasi domestik yang lebih keras, termasuk revisi KUHP. Reformasi ini dinilai sebagai upaya untuk mengamankan kedaulatan negara dari ancaman internal dan eksternal.

Menteri Kehakiman Edasso Rodrigue Bayala menyatakan bahwa pengadopsian rancangan undang-undang ini merupakan bagian dari reformasi yang lebih luas di sektor hukum. Tujuannya adalah untuk menegakkan keadilan yang memenuhi aspirasi rakyat. Klaim ini menunjukkan bahwa junta berupaya membenarkan tindakan kerasnya dengan alasan dukungan publik. Junta militer seringkali berupaya membungkam suara yang mengkritik ketidakmampuannya memulihkan keamanan.

Ancaman Keamanan Dan Pilihan Ekstrem Burkina Faso

Konflik yang dipicu oleh kelompok-kelompok jihadis telah menjadi masalah kronis selama lebih dari satu dekade. Ancaman Keamanan Dan Pilihan Ekstrem Burkina Faso kini telah mendorong penguasa militer mengambil langkah drastis. Kelompok ekstremis yang bersumpah setia kepada Al-Qaeda atau ISIS terus mengganggu stabilitas dan keamanan negara. Akibatnya, junta militer menghadapi tekanan besar dari publik yang menuntut pemulihan keamanan secara cepat.

Ketidakmampuan junta untuk sepenuhnya mengatasi kerusuhan yang semakin meluas menjadi alasan utama pembalikan kebijakan hukum ini. Hukuman mati kini dianggap sebagai alat yang diperlukan untuk memerangi terorisme dan mengintimidasi musuh negara. Oleh karena itu, ketentuan baru ini mencerminkan tingginya tingkat keparahan ancaman yang dirasakan oleh rezim yang berkuasa. Kebijakan ini adalah respon terhadap kegagalan strategi sebelumnya.

Selain fokus pada terorisme, KUHP baru juga secara eksplisit menargetkan praktik homoseksualitas dan tindakan serupa. Pada September lalu, negara ini juga telah mengadopsi undang-undang yang menjatuhkan hukuman maksimal 5 tahun penjara bagi pelakunya. Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa rezim tersebut tidak hanya memprioritaskan keamanan fisik, tetapi juga menegakkan nilai-nilai sosial dan moral yang kaku.

Amnesty International mencatat bahwa kasus Burkina Faso hanyalah salah satu dari tren yang terjadi di Afrika Sub-Sahara. Negara-negara lain, seperti Republik Demokratik Kongo, juga membatalkan moratorium hukuman mati. Tren ini menunjukkan adanya pergeseran global di beberapa negara. Ini adalah penegasan kekuasaan keras dari rezim yang ada di Burkina Faso.

Penegasan Otoritas Dan Kebijakan Anti-Barat

Keputusan mengaktifkan kembali hukuman mati merupakan penegasan otoritas militer di sektor hukum dan politik. Penegasan Otoritas Dan Kebijakan Anti-Barat menunjukkan upaya junta untuk membedakan diri dari pemerintahan sipil sebelumnya. Kebijakan ini menjadi simbol perlawanan terhadap standar hak asasi manusia yang dipromosikan oleh negara-negara Barat. Hal ini sejalan dengan kebijakan anti-Barat yang telah diterapkan Kapten Traore sejak kudeta 2022.

Pemerintah Burkinabe memposisikan langkah ini sebagai pemenuhan aspirasi rakyat. Mereka mengklaim bahwa keadilan harus ditegakkan melalui cara yang diinginkan oleh masyarakat mayoritas. Walaupun demikian, langkah tersebut menuai kritik keras dari kelompok-kelompok hak asasi manusia internasional. Organisasi-organisasi ini khawatir langkah ini justru akan digunakan sebagai alat politik untuk membungkam kritik.

Penerapan hukuman mati untuk spionase dan pengkhianatan tingkat tinggi secara jelas ditujukan untuk memperkuat keamanan internal rezim. Kebijakan ini memberikan dasar hukum yang sah bagi junta untuk menindak oposisi politik. Secara strategis, ini adalah cara untuk mengkonsolidasikan kekuasaan. Negara ini juga menghadapi tekanan dari negara-negara tetangga terkait stabilitas regional.

Kebijakan hukum yang diperkenalkan secara cepat ini menunjukkan bahwa junta militer bersedia menggunakan segala cara yang dianggap perlu untuk memulihkan keamanan. Perubahan KUHP ini memberikan senjata baru yang keras untuk memerangi pemberontak dan penentang kebijakan rezim, didukung oleh kekuatan Burkina Faso.

Dampak Global Terhadap Hak Asasi Manusia

Keputusan penguasa militer ini memberikan dampak yang signifikan terhadap upaya global untuk menghapus hukuman mati. Manfaat atau relevansi topik ini sangat tinggi dalam diskusi mengenai hukum internasional dan hak asasi manusia. Dampak Global Terhadap Hak Asasi Manusia kini menjadi perhatian serius bagi organisasi-organisasi internasional. Ini mengirimkan pesan bahwa tren penghapusan hukuman mati tidak berjalan mulus di semua yurisdiksi.

Langkah ini memperkuat posisi negara-negara yang masih mempertahankan praktik tersebut. Burkina Faso kini bergabung dengan daftar negara di Sahara Afrika yang menjatuhkan hukuman mati pada 2024. Selain itu, ini memberikan justifikasi bagi negara-negara yang berpendapat bahwa hukuman mati diperlukan untuk menghadapi ancaman ekstrem, seperti terorisme dan perdagangan narkoba.

Amnesty International mencatat bahwa hanya Somalia yang secara konsisten melaksanakan hukuman mati dalam dua tahun terakhir di wilayah tersebut. Masuknya Burkina Faso ke dalam daftar ini meningkatkan kekhawatiran tentang potensi lonjakan eksekusi di masa depan. Oleh karena itu, tekanan diplomatik dan advokasi internasional kemungkinan akan meningkat. Mereka bertujuan menekan junta agar membatalkan kembali kebijakan tersebut.

Keputusan ini menjadi penanda bahwa politik domestik, terutama yang didorong oleh isu keamanan dan pertentangan ideologi, dapat dengan mudah membatalkan kemajuan hak asasi manusia yang telah dicapai. Komitmen terhadap keadilan rakyat harus sejalan dengan perlindungan hak asasi manusia universal. Peristiwa ini adalah penegasan kembali kebijakan represif di Burkina Faso.

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait